Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui amanat UUD 1945
berkeinginan untuk tercapainya kesejahteraan rakyatnya. Seluruh UU atau
peraturan yang ada sebagai pengejawantahan UUD tersebut juga diharuskan
merujuk kepada UUD 1945 sebagai induknya.
Kesejahteraan di NKRI ini harus dapat diwujudkan di segenap aspek
kehidupan berdasarkan falsafah negara Indonesia. Cakupan wilayah pun
tidak boleh luput dari target capaian amanat di atas.
Pemerintah RI telah berupaya dalam sebagian konsepnya tentang pengurangan angka kemiskinan, kebodohan dan pengangguran yang menjadi salah satu penyebab tidak dapat diraihnya sebuah kesejahteraan. Konsep tersebut telah dituangkan menjadi program yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah.
Sebuah permasalahan terkait dalam hal ini ketika dibicarakan dalam tataran Pemerintahan Daerah, termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten dan Pemerintahan Desa yang mendapatkan tugas sebagai kepanjangan tangan pemerintahan di atasnya. Permasalahan tersebut adalah ketika masih terwujudnya realita kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan pengangguran yang masih menjadi potret di daerah atau di desa yang menjadi wilayah sebuah pemerintahan daerah. Bahkan Desa adalah merupakan wilayah terbesar di Indonesia.
Ada hubungan sistematis antara kesejahteraan, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, pengangguran dan penggalian potensi. Di antaranya, dengan keterbelakangan, kebodohan, pengangguran dan kemiskinan maka penggalian potensi yang akan dapat menghasilkan beberapa unsur kesejahteraan tidak dapat terlaksana dengan baik atau tidak bisa terlaksana sama sekali.
Berkaitan dengan hal ini, bahwa bukan hanya rakyat atau masyarakat saja yang memang berkewajiban memandirikan sendiri terhadap potensi yang dimilikinya, namun sebagai sebuah komunitas yang telah melakukan perjanjian bersama sebagai sebuah negara serta sepakat untuk memilih pemimpinnya maka pemerintah yang paling pertama harus memenuhi tugas untuk memandirikan masyarakat supaya dapat bertopang pada kekuatan sendiri dalam meraih kesejahteraannya.
Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Desa sebagai unsur pemerintahan terdekat dengan masyarakat tentu dituntut untuk itu. Dan di sinilah akan muncul beberapa hal penting berkaitan dengan hal di atas, terutama menyoroti yang kadang masih ada yang perlu diperbaiki, dan kalau disandingkan pun akan sangat bertolak belakang dengan capaian yang akan berbeda.
Pemerintahan Daerah (Pemda) dan Pemerintahan Desa (Pemdes) sebagai telah disinggung tadi adalah unsur pemerintahan terdekat kepada masyarakat. Masyarakat sebagai obyek program pencapaian kesejahteraan memerlukan pembinaan, pengarahan, pengawasan, atau minimal pendampingan dan pengawasannya. Pemda dan Pemdes harus punya kemampuan membina, mengarahkan, mengawasi, mendampingi. Kemampuan tersebut harus dimiliki dan tidak boleh dianggap sepele, sebab jika tidak demikian maka capaian akan menjadi gagal.
Dan pada realitanya di sini pula munculnya salah satu permasalahan yang bisa saja dianggap sangat besar. Dengan posisi Pemdes yang ‘bersentuhan langsung’ dengan masyarakat atau rakyat tentu kemampuan Pemdes dalam hal tersebut harus benar-benar mampu dibanding posisi Pemda yang ‘tidak bersentuhan langsung’ dengan masyarakat atau rakyat, dan lebih cenderung ke berkegiatan di bidang konsep, kegiatan skala besar atau sekedar pengawasan.
Maka dengan posisi sangat vital tersebut Pemdes diharapkan memiliki kemampuan tersebut guna membina, mengarahkan, mendampingi dan mengawasi masyarakat dalam menggali potensi dirinya dan lingkungannya sebagai sarana tercapainya kesejahteraan bagi mereka perorang atau bagi mereka sebagai sebuah komunitas di sebuah desa. Tapi ternyata harapan yang demikian masih jauh sekali dari harapan.
Dimulai dari tahap awal perekrutan personalia Pemdes masih terkendala oleh UU dan peraturan di bawahnya di antaranya dalam persyaratan pendidikan seorang calon personalia Pemdes, walaupun disyaratkan dengan minimal tingkat pendidikan tapi hal itu ikut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh persyaratan lainnya sehingga untuk merekrut sumber daya manusia yang akan menjadi personalia Pemdes yang punya kemampuan yang diharapkan tidak terpenuhi. Pada tahapan berikutnya adalah realita kurang intensifnya pemberdayaan SDM yang telah menjadi personalia Pemdes. Status pekerjaan, honorerkah, sukwan, buruh, tenaga kontrak atau PNS-kah dengan segala realisasi kesejahteraannya maka akan juga mempengaruhi kemampuan mereka ketika mereka sendiri karena ketidakmenentuan status dan kesejahteraan, maka konsentrasi kemampuan itu sendiri akan berkurang. Yang tidak kalah penting adalah munculnya ketidak-tertarikan masyarakat yang ber-SDM cukup untuk masuk ke personalia Pemdes. Bisa saja ada SDM bagus yang tertarik dengan masuk ke dalamnya, namun begitu mengetahui keadaan yang sebenarnya mereka banyak yang kecewa dan akumulasi kekecewaan tersebut terdengar nyaring pada saat-saat ini dengan munculnya pergerakan personalia Pemdes.
Realita di atas menunjukan arti penting Pemdes namun kurang berdaya. Bila disandingkan atau bahkan dihadapkan dengan posisi Pemda dalam tugasnya yang ada perbedaan dengan tujuan sama, maka akan tidak sebanding atau jauh dari harapan untuk tercapainya tujuan. Sebab, personalia Pemda dengan otonomi yang sama namun persayaratan perekrutan, SDM yang dimiliki, pembinaan yang terarah, status dan kesejahteraan yang jelas dan mencukupi maka sangat berbanding terbalik dengan personalia Pemdes. Dan secara logika seharusnya Pemda lebih dapat menggali potensi daerah bersama masyarakatnya dibandingkan dengan Pemdes, namun yang seringkali terdengar adalah himbauan agar Pemdes dapat lebih baik menggali potensi masyarakat desa dan lingkungannya, dibanding himbauan agar Pemda dapat lebih baik dalam menggali potensi masyarakat dan lingkungannya, tapi di sisi lain yang sempat menjadi wacana saat terkini adalah banyaknya Pemda yang pengeluaran anggarannya lebih besar pasak dari pada tiang, dan suka bernyanyi dengan lagu ‘defisit’ anggaran.
Kalau realita demikian, siapakah yang bertanggungjawab terhadap lemahnya sistem/aturan dan lemahnya kemajuan program ini pada tiap tahap pembangunannya? Mendagrikah atau Presidenkah, atau juga termasuk legislatifnya?
(PusinfoPPDI*)
Pemerintah RI telah berupaya dalam sebagian konsepnya tentang pengurangan angka kemiskinan, kebodohan dan pengangguran yang menjadi salah satu penyebab tidak dapat diraihnya sebuah kesejahteraan. Konsep tersebut telah dituangkan menjadi program yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah.
Sebuah permasalahan terkait dalam hal ini ketika dibicarakan dalam tataran Pemerintahan Daerah, termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten dan Pemerintahan Desa yang mendapatkan tugas sebagai kepanjangan tangan pemerintahan di atasnya. Permasalahan tersebut adalah ketika masih terwujudnya realita kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan pengangguran yang masih menjadi potret di daerah atau di desa yang menjadi wilayah sebuah pemerintahan daerah. Bahkan Desa adalah merupakan wilayah terbesar di Indonesia.
Ada hubungan sistematis antara kesejahteraan, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, pengangguran dan penggalian potensi. Di antaranya, dengan keterbelakangan, kebodohan, pengangguran dan kemiskinan maka penggalian potensi yang akan dapat menghasilkan beberapa unsur kesejahteraan tidak dapat terlaksana dengan baik atau tidak bisa terlaksana sama sekali.
Berkaitan dengan hal ini, bahwa bukan hanya rakyat atau masyarakat saja yang memang berkewajiban memandirikan sendiri terhadap potensi yang dimilikinya, namun sebagai sebuah komunitas yang telah melakukan perjanjian bersama sebagai sebuah negara serta sepakat untuk memilih pemimpinnya maka pemerintah yang paling pertama harus memenuhi tugas untuk memandirikan masyarakat supaya dapat bertopang pada kekuatan sendiri dalam meraih kesejahteraannya.
Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Desa sebagai unsur pemerintahan terdekat dengan masyarakat tentu dituntut untuk itu. Dan di sinilah akan muncul beberapa hal penting berkaitan dengan hal di atas, terutama menyoroti yang kadang masih ada yang perlu diperbaiki, dan kalau disandingkan pun akan sangat bertolak belakang dengan capaian yang akan berbeda.
Pemerintahan Daerah (Pemda) dan Pemerintahan Desa (Pemdes) sebagai telah disinggung tadi adalah unsur pemerintahan terdekat kepada masyarakat. Masyarakat sebagai obyek program pencapaian kesejahteraan memerlukan pembinaan, pengarahan, pengawasan, atau minimal pendampingan dan pengawasannya. Pemda dan Pemdes harus punya kemampuan membina, mengarahkan, mengawasi, mendampingi. Kemampuan tersebut harus dimiliki dan tidak boleh dianggap sepele, sebab jika tidak demikian maka capaian akan menjadi gagal.
Dan pada realitanya di sini pula munculnya salah satu permasalahan yang bisa saja dianggap sangat besar. Dengan posisi Pemdes yang ‘bersentuhan langsung’ dengan masyarakat atau rakyat tentu kemampuan Pemdes dalam hal tersebut harus benar-benar mampu dibanding posisi Pemda yang ‘tidak bersentuhan langsung’ dengan masyarakat atau rakyat, dan lebih cenderung ke berkegiatan di bidang konsep, kegiatan skala besar atau sekedar pengawasan.
Maka dengan posisi sangat vital tersebut Pemdes diharapkan memiliki kemampuan tersebut guna membina, mengarahkan, mendampingi dan mengawasi masyarakat dalam menggali potensi dirinya dan lingkungannya sebagai sarana tercapainya kesejahteraan bagi mereka perorang atau bagi mereka sebagai sebuah komunitas di sebuah desa. Tapi ternyata harapan yang demikian masih jauh sekali dari harapan.
Dimulai dari tahap awal perekrutan personalia Pemdes masih terkendala oleh UU dan peraturan di bawahnya di antaranya dalam persyaratan pendidikan seorang calon personalia Pemdes, walaupun disyaratkan dengan minimal tingkat pendidikan tapi hal itu ikut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh persyaratan lainnya sehingga untuk merekrut sumber daya manusia yang akan menjadi personalia Pemdes yang punya kemampuan yang diharapkan tidak terpenuhi. Pada tahapan berikutnya adalah realita kurang intensifnya pemberdayaan SDM yang telah menjadi personalia Pemdes. Status pekerjaan, honorerkah, sukwan, buruh, tenaga kontrak atau PNS-kah dengan segala realisasi kesejahteraannya maka akan juga mempengaruhi kemampuan mereka ketika mereka sendiri karena ketidakmenentuan status dan kesejahteraan, maka konsentrasi kemampuan itu sendiri akan berkurang. Yang tidak kalah penting adalah munculnya ketidak-tertarikan masyarakat yang ber-SDM cukup untuk masuk ke personalia Pemdes. Bisa saja ada SDM bagus yang tertarik dengan masuk ke dalamnya, namun begitu mengetahui keadaan yang sebenarnya mereka banyak yang kecewa dan akumulasi kekecewaan tersebut terdengar nyaring pada saat-saat ini dengan munculnya pergerakan personalia Pemdes.
Realita di atas menunjukan arti penting Pemdes namun kurang berdaya. Bila disandingkan atau bahkan dihadapkan dengan posisi Pemda dalam tugasnya yang ada perbedaan dengan tujuan sama, maka akan tidak sebanding atau jauh dari harapan untuk tercapainya tujuan. Sebab, personalia Pemda dengan otonomi yang sama namun persayaratan perekrutan, SDM yang dimiliki, pembinaan yang terarah, status dan kesejahteraan yang jelas dan mencukupi maka sangat berbanding terbalik dengan personalia Pemdes. Dan secara logika seharusnya Pemda lebih dapat menggali potensi daerah bersama masyarakatnya dibandingkan dengan Pemdes, namun yang seringkali terdengar adalah himbauan agar Pemdes dapat lebih baik menggali potensi masyarakat desa dan lingkungannya, dibanding himbauan agar Pemda dapat lebih baik dalam menggali potensi masyarakat dan lingkungannya, tapi di sisi lain yang sempat menjadi wacana saat terkini adalah banyaknya Pemda yang pengeluaran anggarannya lebih besar pasak dari pada tiang, dan suka bernyanyi dengan lagu ‘defisit’ anggaran.
Kalau realita demikian, siapakah yang bertanggungjawab terhadap lemahnya sistem/aturan dan lemahnya kemajuan program ini pada tiap tahap pembangunannya? Mendagrikah atau Presidenkah, atau juga termasuk legislatifnya?
(PusinfoPPDI*)