21 Nov 2011

Nasib RUU Desa

Rancangan Undang Undang (RUU) Desa merupakan salah satu program kerja pemerintah yang terkatung-katung cukup lama, sudah sejak tahun 2008 dan sampai sekarang masih belum jelas nasibnya. RUU dimaksud merupakan salah satu muara dari upaya merevisi UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan di daerah yang dipecah ke dalam tiga RUU; yakni RUU Desa, RUU Pemerintahan Daerah dan RUU Pilkada. Ketiganya sampai saat ini belum memiliki kejelasan. RUU Pemerintahan daerah dan RUU Pilkada malahan semakin tidak jelas pembahasannya. Dari permasalahan ini, nampak jelas bahwa kita masih belum mampu mengembangkan visi yang futuristik sebagai landasan perjalanan bangsa di bidang pemerintahan dan demokrasi lokal.
RUU Desa terjebak oleh polemik antara otonomi pemerintahan desa dan otonomi masyarakat desa. Selain itu juga disandera oleh ongkos operasional belanja tidak langsung yang demikian tinggi karena usulan mengenai pengangkatan perangkat desa dan kenaikan gaji dan tunjangan kesejahteraan. Sedangkan RUU Pemerintahan Daerah terjebak pada polemik mengenai kedudukan dan kewenangan serta tata cara pemilihan gubernur. Dalam substansinya, penjabaran pengertian mengenai gubernur sebagai kepanjangan tangan presiden menciptakan jalan buntu pada pembahasan wewenang, fungsi dan tata cara pemilihannya. Ada yang berpendapat dengan keras jika disepakati gubernur sebagai kepanjangan tangan presiden tentu tidak perlu dipilih langsung oleh rakyat. Sedangan RUU Pilkada antara lain terjebak pada pembahasan mengenai model pemilihan yang tidak paket. Bupati/walikota saja yang maju ke ajang pemilihan langsung sedang wakilnya tidak. Polemik mengenai pengajuan dan asal usul wakil bupati/walikota ini yang kemudian menjadi penghambat pembahasan RUU tersebut. Ada beberapa pilihan yang muncul Pertama, nama-nama calon wakil bupati/walikota diajukan secara bebas oleh bupati/walikota terpilih kepada mendagri melalui persetujuan DPRD. Kedua, dari konsultan ahli Depdagri mengusulkan agar nama-nama calon wakil bupati/walikota diajukan oleh bupati/walikota terpilih dari kalangan jajaran birokrasi karier.
Berbagai perdebatan seru tersebut menunjukan bahwa sesungguhnya kita belum mampu secara tuntas membangun konsensus yang futuristik menyangkut bagaimana tata kelola negara ini mesti dikembangkan. Prinsip-prinsip paling dasar yang dibutuhkan untuk membangun konsensus pun menjadi bias di tengah jalan. Intepretasi terhadap Pancasila sebagai dasar negara mengalami pembiasaan dengan spektrum yang luar biasa luasnya.
Tak kurang Mendagri Gamawan Fauzi memberikan penjelasan yang terlalu sederhana sebagai berikut; “Iya, kemarin mereka (ratusan kepala desa) meminta supaya diajukan RUU Desa, tapi tidak mungkin kalau UU pemerintah daerah belum selesai,” kata Mendagri, Gamawan Fauzi, usai menghadiri wisuda akademi kepolisian di PTIK, Jakarta, Selasa (21/6).
Gamawan berkelit, untuk mengajukan draft RUU Desa ke DPR harus ada urutannya. Menurutnya, pengajuan RUU Desa harus didahului dengan mengesahkan UU tentang Pemerintah Daerah. RUU tentang Pemerintah Daerah sendiri akan diserahkan ke DPR pada bulan ini, sebagaimana dilansir media berita berbasis internet detik.com.
RUU Desa yang diserahkan pemerintah karena desakan kepala desa dari Parade Nusantara ternyata belum resmi. Sebab, setiap draft RUU resmi pemerintah pasti dikirimkan Presiden langsung ke Pimpinan DPR. “Ini juga belum ada tanda tangan Presiden. Jadi baru draf awal pemerintah, yang belum difinalisasi dan harmonisasi,” kata Ketua Baleg DPR, Ignatius Mulyono, Senin (20/6/2011).
Memang masih banyak hal yang harus dimatangkan terlebih dahulu dalam RUU Desa. Pembenahan bukan hanya semata tuntutan elitis para kepala desa dan perangkat desa menyangkut masa jabatan dan tunjangan, tetapi juga menyangkut pengaturan yang lebih pasti mengenai status dan kewenangan desa-desa yang berada di dalam kawasan tertentu. Misalnya, desa-desa di perbatasan antar propinsi, dan desa-desa di perbatasan lintas Negara. Desa-desa di wilayah kawasan seperti ini membutuhkan kerangka legal tertentu yang secara khusus diperuntukkan sebagai landasan membuat terobosan di bidang pelayanan dan pengelolaan tata pemerintahan sesuai dengan karakter khusus yang ada, untuk memberikan kemudahan layanan dan percepatan responsi terhadap permasalahan sosial, politik, ekonomi yang ada. Juga desa-desa yang terletak di kawasan eksplorasi tambang dan hutan (enclave) atau desa-desa yang terletak di kawasan konservasi (hutan dan laut), yang membutuhkan juga pengaturan-pengaturan yang bersifat lex specialist. Selain, tentu saja, konsensus menyangkut batasan pengertian atas substansi desa itu sendiri, yang akan mempengaruhi posisi dan relasinya dengan struktur supra desa.
Dalam berbagai kasus, misalnya warga yang tinggal di kawasan Taman Wisata Gunung Lauser dan juga beberapa desa di Kecamatan Wori, Minahasa Utara, yang masuk kawasan Taman Nasional Laut Bunaken, lebih sering mengalami konflik dengan otoritas struktur supra desa, yang kurang menguntungkan warga desa. Di Dumai bahkan, beberapa desa yang berada di kawasan enclave pertambangan minyak tidak dapat memanfaatkan lahan di sekitarnya untuk fasilitas umum, jalan, pasar, dan sekolah tanpa izin dari pihak swasta asing  perusahaan pengeboran minyak yang memegang hak kelola lahan di sekitar desanya. “Kami seperti bangsa Palestina, yang tidak merdeka di negeri sendiri,” ujar warga dari Kecamatan Dumai Barat yang terletak di dalam enclave swasta asing itu.
Tidak dapat dipungkiri, posisi politik RUU Desa sangat setrategis, penting, dan sekaligus rumit. Di satu sisi, RUU Desa dituntut tidak keluar dari frame sumber hukum yang lebih tinggi, dan di sisi lain RUU Desa dituntut mampu mengakomodasi tuntutan kebutuhan sekarang yang lebih progresif dan futuristik. Oleh karena itu, sesungguhnya, perdebatan menyangkut RUU Desa hendaknya dilandasi oleh kesamaan cara pandang dalam menempatkan desa sebagai basis pembangunan kekuatan bangsa di masa mendatang. Dengan demikian, selain nilai-nilai dasar yang sudah dimandatkan oleh sumber-sumber hukum yang sudah ada, tentu saja cara pandang terhadap desa dan posisinya juga seyogyanya mempertimbangkan berbagai kecenderungan eksternal, baik yang bersifat makro global maupun kecenderungan mikro internal menyangkut trend perubahan masyarakat desa itu sendiri. Sehingga, pengaturan yang dikembangkan sudah dengan sendirinya mempertimbangkan aspek dimensi waktu. Setidaknya, 25 tahun mendatang.
Oleh karena itu, tanpa bermaksud mengesampingkan arti penting tuntutan para aparat pemerintahan desa baik yang tergabung dalam Parade Nusantara maupun PPDI (Persatuan Perangkat Desa Indonesia), maka sebaiknya kita tidak tersandera oleh polemik yang bersifat elitis dan atomistik. Misalnya, besaran gaji atau tunjangan kesejahteraan perangkat desa, status kepegawaian, dan masa jabatan. Lebih dari itu, marilah kita lihat substansi dan urgensi yang lebih mendasar dari pentingnya RUU Desa untuk disahkan di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang 85% wilayahnya adalah wilayah pedesaan yang pencil ini.
Sebenarnya, tidaklah terlalu sulit untuk mengembangkan pijakan agar tercapai consensus bahwa; “Desa yang kuat pangkal Bangsa yang sehat”. Semoga sumbang pemikiran ini dapat memantik pembahasan yang lebih jernih ditengah kecamuk polemik tentang RUU Desa.
*) Penulis adalah Koordinator Pelaksana Kaukus 17++

kaukus 17++ / foto : sulisyk.wordpress