19 Mar 2013

Gubernur Jateng : Perangkat Desa Banyumas Mendapatkan Jaminan Kesehatan ASKES

Boyolali-Jawa Tengah. Pengurus Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Provinsi Jawa Tengah berharap memperoleh jaminan kesehatan selama menjalankan tugas. Pasalnya, mereka bekerja melayani masyarakat dan banyak yang masih mendapat bayaran jauh dari upah minimum kabupaten/kota (UMK).
"Di Kebumen, masih ada perangkat desa yang hanya dibayar Rp 60-70 ribu," kata Ketua PPDI Jawa Tengah Sarjoko dalam konsolidasi dan pengukuhan pengurus PPDI Jateng di gedung Muzdalifah, kompleks Asrama Haji Donohudan, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Minggu (17/3).
Acara dihadiri Gubernur Bibit Waluyo dan Ketua Umum PPDI Pusat Ubaidi Rosyidi.
Ubaidi berharap ada solusi untuk perangkat desa yang mendapat bayaran jauh di bawah UMK, serta tidak tercakup Jam-kesmas atau Jamkesda dari pemerintah. Misalnya dengan memasukkan mereka ke dalam pelayanan PT Jaminan Sosial Tenaga kerja (Jamsotek). Agus Rokiman, pengurus PPDI Banyumas mengusulkan agar kesejahteraan perangkat desa di kabupaten itu bisa jadi patokan.
Kemampuan Anggaran
Di Banyumas, perangkat desa mendapat tunjangan dari pemkab berkisar Rp 1,090 juta-Rp 1,5 juta per bulan untuk staf hingga kades. Juga ada tunjangan jabatan bagi perangkat dan istri serta anak mereka yang berkisar Rp 20 ribu-Rp 50 ribu per bulan.
"Perangkat desa juga mendapat jaminan kesehatan di PT Askes, termasuk untuk istri dan dua anak," tandasnya.
Bibit Waluyo mengatakan, yang dicapai PPDI Banyumas itu merupakan kondisi ideal yang dia idam-idamkan. Namun untuk menyamakan dengan daerah-daerah lain sangat sulit, karena perbedaan kemampuan anggaran.
"Kalau Blora mau disamakan dengan Banyumas pasti sangat sulit karena APBD mereka sangat kecil," tegasnya.
Bahkan ada daerah yang dananya habis hanya untuk membayar gaji para PNS. Di sisi lain, Bibit juga menyatakan tak masalah bila UU tentang Desa yang saat ini tengah digodok di DPR memasukkan perangkat desa menjadi PNS. Ia meminta perangkat desa bersabar menunggu UU tersebut resmi diundangkan.
Pada kesempatan itu, mantan Pangkostrad tersebut tak lupa pamer prestasi dan keberhasilan. Salah satunya, awal dia menjabat pada 2008, ada 1.770 desa tertinggal di Jateng yang dibantu Rp 100 juta. Tahun ini jumlah desa yang masih tertinggal berkurang sampai 290 desa dan dibantu dana Rp 100 juta. (H53-59

Sumber dari : Suara Merdeka Com

PPDI Tegal Tuntut Peningkatan Kesejahteraan

Tegal-Jawa Tengah. Ratusan perangkat desa di Kabupaten Tegal Jawa Tengah, mendatangi Gedung DPRD setempat. Mereka mendesak DPRD untuk mendukung tuntutan Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) cabang Kabupaten Tegal terkait peningkatan kesejahteraan, Rabu (13/3/2013) siang.
“Ini belum semua yang turun, kami milih tertib dan yang datang perwakilan perangkat desa dari 280 desa,” jelas Ketua PPDI Kabupaten Tegal yang juga menjabat sebagai Kasi Pembangunan Desa Pedeslohor Kecamatan Adiwerna, Dikrun Diantoro.
Diketahui saat ini upah yang diterima oleh perangkat desa hanya sebesar Rp.600 ribu perbulan atau di bawah UMK kabupaten Tegal sebesar Rp 820 ribu. Ini yang menjadi alasan mereka geruduk DPRD.
Menurut Dikrun,  hal itu sudah menyalahi surat edaran mendagri terkait  perangkat desa diberi tunjangan sesuai UMK. Pihaknya juga menyatakan penolakan tentang surat edaran permendagri yang meminta kepada perangkat desa diharuskan mundur dari jabatannya saat mencalonkan diri sebagai kepala desa.
“Ini kan diskriminasi, semestinya diberlakukan sama, apabila perangkat desa lolos dalam pencalonan maka harus mundur.  Sedangkan bagi mereka yang gagal diperbolehkan kembali menjabat sebagai perangkat desa,” jelasnya.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ketua Umum PPDI, Ubaedi Rosyidi, yang menjelaskan  desa selalu menjadi korban kebijakan pemerintah pusat. Tidak hanya Kabupaten Tegal, ada beberapa daerah yang belum mendapat perhatian pemerintah daerah. “Kabupaten Tegal adalah sekian daerah yang upah perangkat desanya rendah, harusnya mencontoh daerah-daerah lain,” papar Ubaedi yang turut mendampingi PPDI Kabupaten Tegal datang ke DPRD.
Ubaedi juga menjelaskan untuk alokasi dana desa (ADD) di setiap daerah terus merosot turun, semula Rp.100 juta pertahun saat ini hanya disalurkan sebesar Rp.83 juta. Hingga berita ini diturunkan PPDI Kabupaten Tegal masih bernegoisasi dengan ketua DPRD Kabupaten Tegal, Rojikin Al Haz. (bam)
Penulis: Dede DM Lou

Sumber :  PenaOne Com

9 Mar 2013

Desa Sebagai Daerah Otonomi Tk III ?

TAP MPR RI No. IV/MPR/2000, tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, di antaranya berbunyi :
III. REKOMENDASI
Rekomendasi ini ditujukan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar ditindaklanjuti sesuai dengan butir-butir rekomendasi di bawah ini :
(poin) 7. Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap propinsi, kabupaten/kota, desa/nagari/marga, dan sebagainya.

Sumber : Pusinfo PPDI / MPR GO ID

26 Feb 2013

Istana Presiden : RUU Desa Termasuk Prioritas Bahasan


Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso mengatakan, rapat konsultasi Presiden dan DPR RI yang berlangsung di Istana Kepresidenan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) yang harus diprioritaskan segera selesai.
“Rapat konsultasi Presiden dan Pimpinan DPR RI membahas RUU prioritas yang belum dituntaskan, seperti RUU Desa, RUU Ormas, RUU Kamnas, RUU Pilkada dan RUU Pemda,” kata Priyo di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin.
Untuk RUU Desa, kata dia, penyelesaian RUU akan dipercepat, terutama tiga poin tuntutan meliputi alokasi dana desa, masa jabatan 8 tahun dan status perangkat desa (apakah jadi PNS atau tidak).
Rapat konsultasi itu juga membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai tindak lanjut Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan untuk UU Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS).
Dia menyebutkan, rapat konsultasi itu juga membahas Otsus Papua dan Aceh yang sampai hari ini rancangan PP-nya belum selesai dan mesti segera selesai.
“Presiden SBY merespons positif semua usulan yang disampaikan oleh pimpinan DPR RI,” kata politisi Golkar itu.
Mengenai rencana pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc, Priyo mengakui ini juga menjadi agenda.  “Tapi saya sarankan, harus dicari solusi yang jangan menimbulkan hiruk-pikuk, apakah tepat pada momen saat ini untuk dibahas.”
Dia menyebutkan, proposal ini masih harus dibicarakan dengan Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, TNI dan BIN.
(Zul). Editor: Jafar M Sidik
Sumber dari : Antara News Com

25 Feb 2013

Ir. H. Aburizal Bakrie : Partai Golkar Kawal DIM RUU Desa Dari PPDI


Partai Golkar akan mengawal RUU Desa dan DIM yang disampaikan oleh PPDI. Hal itu disampaikan oleh Ir. H. Aburizal Bakrie atau Ical panggilan akrab Ketua Umum Partai Golkar kepada Ketua Umum PP PPDI, Ubaidi Rosyidi, SH., di Pendopo Pemkab Wonogiri, Sabtu (23/02). Ical atau ARB akan mengawal RUU Desa agar dapat disahkan tepat waktu dan tepat sasaran termasuk apa yang diperjuangkan oleh PPDI dan elemen perjuangan desa lainnya.
“DIM dari PPDI (untuk RUU Desa) akan kami sampaikan kepada ketua Fraksi (Partai Golkar) dan kepada anggota DPR”, demikian pernyataan ARB atas penyampaian DIM oleh Pengurus Pusat PPDI sekaligus permohonan kepada Partai Golkar agar bersikap tegas dan melakukan langkah kongkrit dalam pengesahan RUU Desa bersama poin-poin perjuangan PPDI.
Pertemuan intensif dengan Ketua Umum Partai Golkar tersebut difasilitasi oleh Bupati Wonogiri, demikian rilis Ubaidi dalam pesan singkatnya kepada PusinfoPPDI* siang tadi.

Sumber : PPDI.OR.ID

24 Feb 2013

RUU Desa : Desa Sebagai Daerah Otonom Tingkat III Keharusan Konstitusi


Oleh : Suryokoco Suryoputro
Dalam sebuah catatan yang saya peroleh dari tulisan AA GN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko yanmg menyebutkan bahwa dalam Pertemuan TIM PAKAR DEPDAGRI 3 Oktober lalu mendiskusikan isu desa, yang berupaya menemukan “cantolan” (interface) antara daerah dan desa dalam penyempurnaan UU No. 32/2004.
Cantolan desa dalam UU Pemerintahan Daerah ini selanjutnya akan dijabarkan dalam RUU Desa disebutkan bahwa setidaknya ada empat alasan pemerintah tidak menjadikan sebagai daerah tingkat III. Pertama, konstitusi tidak mengamanatkan desentralisasi sampai ke desa. Kedua, konsep desa sebagai daerah otonom tingkat III akan mempersulit dan memperumit otonomi daerah. Ketiga, kondisi desa-desa di Indonesia mempunyai tipologi yang sangat beragam, sehingga pengaturan desa tidak bisa disusun dalam sebuah format yang seragam, seperti halnya dengan skema daerah otonom tingkat III. Keempat, tidak semua desa ditempatkan sebagai unit pemerintahan Negara (state government), tetapi sebaiknya juga mengakomodasi bentuk pemerintahan komunitas (community governance) yang dikelola sendiri oleh komunitas setempat, atau disebut dengan self governing community.
Ada beberapa hal yang kemudian menggelitik untuk dicermati yaitu :
Tidak ada Amanat Konstitusi Desentralisasi Desa…?
Bagaimana konstitusi tidak mengamanatkan desentralisasi sampai ke desa, sedang dalam UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan Pasal 7 ayat (1) disebut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah hirarki perundangan setelah UUD sebelum Undang undang, dan dalam desentralisasi sampai tingkat desa ada Tap MPR No IV tahun 2000.
Dalam Tap IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dalanRrekomendasi nomor 7 menyebutkan “Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbagan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap propinsi, kabupaten/kota, desa/nagari/marga, dan sebagainya”.
Jadi tidak benar bila tidak ada “cantolan” konstitusi untuk member dan atau mengatur otonomi sampai tingkat desa. Dan oleh karenanya sangatlah layak dan menjadi sebuah keharusan konstitusi, bahwa UU Desa kedepan harus merupakan penjelasan tentang otonomi tingkat III, bukan sekedar menjadikan desa sebagai local-self community, atau pelaksana tugas pelayanan semata.
Desa sebagai daerah otonom tingkat III akan mempersulit dan memperumit otonomi daerah..?
Sebenarnya sejauhmana kerumitan yang sebenarnya terjadi, ketika dalam proses pembangunan nasional kita mengnal musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) mulai dari desa / kelurahan hingga tingkat Nasional.
Musrenbang, identik dengan diksusi di masyarakat / kelurahan tentang kebutuhan pembangunan daerah. Musrenbang merupakan agenda tahunan di mana warga saling bertemu mendiskusikan masalah yang mereka hadapi dan memutuskan prioritas pembangunan jangka pendek. Ketika prioritas telah tersusun, kemudian di usulkan kepada pemerintah di level yang lebih tinggi, dan melalui badan perencanaan daerah (BAPPEDA) Kabupaten / Kota, Propinsi hingga BAPPENAS.
Ketika pemerintah berpikir otonomi tingkat III mempersulit dan memperumit otonomi daerah, maka dapat diartikan proses musrenbang yang dilakukan hanya program penghamburan anggaran oleh pemerintah, karena esensinya musyawarah dari tingkat desa/kelurahan dan kecamatan bukanlah hal yang perlu dilakukan.
(Artikel di atas disadur sebagian dari Kompasiana Com, yang ditulis oleh Suryokoco Suryoputro, SE., pemilik Desa Merdeka Com dan Koruptor Indonesia Com, pemerhati dan pegiat di Relawan Pemberdayaan Desa Nusantara/RDPN, dan beberapa lainnya serta aktif menjadi salah satu Pembina PP Persatuan Perangkat Desa Indonesia).
Foto diambil dari : Jv Gogaku Jp

Sumber : www.ppdi.or.id