Rancangan Undang Undang (RUU) Desa merupakan salah satu program
kerja pemerintah yang terkatung-katung cukup lama, sudah sejak tahun
2008 dan sampai sekarang masih belum jelas nasibnya. RUU dimaksud
merupakan salah satu muara dari upaya merevisi UU No 32 tahun 2004
tentang pemerintahan di daerah yang dipecah ke dalam tiga RUU; yakni RUU
Desa, RUU Pemerintahan Daerah dan RUU Pilkada. Ketiganya sampai saat ini belum memiliki kejelasan.
RUU Pemerintahan daerah dan RUU Pilkada malahan semakin tidak jelas
pembahasannya. Dari permasalahan ini, nampak jelas bahwa kita masih belum mampu mengembangkan visi yang futuristik sebagai landasan perjalanan bangsa di bidang pemerintahan dan demokrasi lokal.
RUU Desa terjebak oleh polemik antara otonomi pemerintahan desa dan otonomi masyarakat desa.
Selain itu juga disandera oleh ongkos operasional belanja tidak
langsung yang demikian tinggi karena usulan mengenai pengangkatan
perangkat desa dan kenaikan gaji dan tunjangan kesejahteraan. Sedangkan RUU Pemerintahan Daerah terjebak pada polemik mengenai kedudukan dan kewenangan serta tata cara pemilihan gubernur.
Dalam substansinya, penjabaran pengertian mengenai gubernur sebagai
kepanjangan tangan presiden menciptakan jalan buntu pada pembahasan
wewenang, fungsi dan tata cara pemilihannya. Ada yang berpendapat dengan
keras jika disepakati gubernur sebagai kepanjangan tangan presiden
tentu tidak perlu dipilih langsung oleh rakyat. Sedangan RUU Pilkada antara lain terjebak pada pembahasan mengenai model pemilihan yang tidak paket.
Bupati/walikota saja yang maju ke ajang pemilihan langsung sedang
wakilnya tidak. Polemik mengenai pengajuan dan asal usul wakil
bupati/walikota ini yang kemudian menjadi penghambat pembahasan RUU
tersebut. Ada beberapa pilihan yang muncul Pertama, nama-nama calon
wakil bupati/walikota diajukan secara bebas oleh bupati/walikota
terpilih kepada mendagri melalui persetujuan DPRD. Kedua, dari konsultan
ahli Depdagri mengusulkan agar nama-nama calon wakil bupati/walikota
diajukan oleh bupati/walikota terpilih dari kalangan jajaran birokrasi
karier.
Berbagai perdebatan seru tersebut menunjukan bahwa sesungguhnya kita belum mampu secara tuntas membangun konsensus yang futuristik menyangkut bagaimana tata kelola negara ini mesti dikembangkan.
Prinsip-prinsip paling dasar yang dibutuhkan untuk membangun konsensus
pun menjadi bias di tengah jalan. Intepretasi terhadap Pancasila sebagai
dasar negara mengalami pembiasaan dengan spektrum yang luar biasa
luasnya.
Tak kurang Mendagri Gamawan Fauzi memberikan penjelasan yang terlalu
sederhana sebagai berikut; “Iya, kemarin mereka (ratusan kepala desa)
meminta supaya diajukan RUU Desa, tapi tidak mungkin kalau UU pemerintah
daerah belum selesai,” kata Mendagri, Gamawan Fauzi, usai menghadiri
wisuda akademi kepolisian di PTIK, Jakarta, Selasa (21/6).
Gamawan berkelit, untuk mengajukan draft RUU Desa ke DPR harus ada
urutannya. Menurutnya, pengajuan RUU Desa harus didahului dengan
mengesahkan UU tentang Pemerintah Daerah. RUU tentang Pemerintah Daerah
sendiri akan diserahkan ke DPR pada bulan ini, sebagaimana dilansir
media berita berbasis internet detik.com.
RUU Desa yang diserahkan pemerintah karena desakan kepala desa dari
Parade Nusantara ternyata belum resmi. Sebab, setiap draft RUU resmi
pemerintah pasti dikirimkan Presiden langsung ke Pimpinan DPR. “Ini juga
belum ada tanda tangan Presiden. Jadi baru draf awal pemerintah, yang
belum difinalisasi dan harmonisasi,” kata Ketua Baleg DPR, Ignatius
Mulyono, Senin (20/6/2011).
Memang masih banyak hal yang harus dimatangkan terlebih dahulu dalam RUU Desa.
Pembenahan bukan hanya semata tuntutan elitis para kepala desa dan
perangkat desa menyangkut masa jabatan dan tunjangan, tetapi juga
menyangkut pengaturan yang lebih pasti mengenai status dan kewenangan
desa-desa yang berada di dalam kawasan tertentu. Misalnya, desa-desa di
perbatasan antar propinsi, dan desa-desa di perbatasan lintas Negara.
Desa-desa di wilayah kawasan seperti ini membutuhkan kerangka legal
tertentu yang secara khusus diperuntukkan sebagai landasan membuat
terobosan di bidang pelayanan dan pengelolaan tata pemerintahan sesuai
dengan karakter khusus yang ada, untuk memberikan kemudahan layanan dan
percepatan responsi terhadap permasalahan sosial, politik, ekonomi yang
ada. Juga desa-desa yang terletak di kawasan eksplorasi tambang dan
hutan (enclave) atau desa-desa yang terletak di kawasan konservasi
(hutan dan laut), yang membutuhkan juga pengaturan-pengaturan yang
bersifat lex specialist. Selain, tentu saja, konsensus menyangkut
batasan pengertian atas substansi desa itu sendiri, yang akan
mempengaruhi posisi dan relasinya dengan struktur supra desa.
Dalam berbagai kasus, misalnya warga yang tinggal di kawasan Taman
Wisata Gunung Lauser dan juga beberapa desa di Kecamatan Wori, Minahasa
Utara, yang masuk kawasan Taman Nasional Laut Bunaken, lebih sering
mengalami konflik dengan otoritas struktur supra desa, yang kurang
menguntungkan warga desa. Di Dumai bahkan, beberapa desa yang berada di
kawasan enclave pertambangan minyak tidak dapat memanfaatkan lahan di
sekitarnya untuk fasilitas umum, jalan, pasar, dan sekolah tanpa izin
dari pihak swasta asing perusahaan pengeboran minyak yang memegang hak
kelola lahan di sekitar desanya. “Kami seperti bangsa Palestina, yang
tidak merdeka di negeri sendiri,” ujar warga dari Kecamatan Dumai Barat
yang terletak di dalam enclave swasta asing itu.
Tidak dapat dipungkiri, posisi politik RUU Desa sangat setrategis, penting, dan sekaligus rumit.
Di satu sisi, RUU Desa dituntut tidak keluar dari frame sumber hukum
yang lebih tinggi, dan di sisi lain RUU Desa dituntut mampu
mengakomodasi tuntutan kebutuhan sekarang yang lebih progresif dan
futuristik. Oleh karena itu, sesungguhnya, perdebatan
menyangkut RUU Desa hendaknya dilandasi oleh kesamaan cara pandang dalam
menempatkan desa sebagai basis pembangunan kekuatan bangsa di masa
mendatang. Dengan demikian, selain nilai-nilai dasar yang
sudah dimandatkan oleh sumber-sumber hukum yang sudah ada, tentu saja
cara pandang terhadap desa dan posisinya juga seyogyanya
mempertimbangkan berbagai kecenderungan eksternal, baik yang bersifat
makro global maupun kecenderungan mikro internal menyangkut trend
perubahan masyarakat desa itu sendiri. Sehingga, pengaturan yang
dikembangkan sudah dengan sendirinya mempertimbangkan aspek dimensi
waktu. Setidaknya, 25 tahun mendatang.
Oleh karena itu, tanpa bermaksud mengesampingkan arti penting
tuntutan para aparat pemerintahan desa baik yang tergabung dalam Parade
Nusantara maupun PPDI (Persatuan Perangkat Desa Indonesia), maka sebaiknya kita tidak tersandera oleh polemik yang bersifat elitis dan atomistik.
Misalnya, besaran gaji atau tunjangan kesejahteraan perangkat desa,
status kepegawaian, dan masa jabatan. Lebih dari itu, marilah kita lihat
substansi dan urgensi yang lebih mendasar dari pentingnya RUU Desa
untuk disahkan di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang 85% wilayahnya
adalah wilayah pedesaan yang pencil ini.
Sebenarnya, tidaklah terlalu sulit untuk mengembangkan pijakan agar tercapai consensus bahwa; “Desa yang kuat pangkal Bangsa yang sehat”. Semoga sumbang pemikiran ini dapat memantik pembahasan yang lebih jernih ditengah kecamuk polemik tentang RUU Desa.
*) Penulis adalah Koordinator Pelaksana Kaukus 17++
kaukus 17++ / foto : sulisyk.wordpress